PAPER PPOK KEPERAWATAN DEWASA II


logo.jpg

PAPER
Gangguan Pernapasan dan Asuhan Keperawatan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Dewasa II

Dosen Pembimbing :
Ns. Yuni Dwi Hastuti, S.Kep., M.Kep.

Oleh :
Ayu Martha Puri                     22020115120043
Dyah Sukma Indriastutik        22020115120045
Grahya Febriella M.N.P          22020115120039
Hanifah Nur Laily                   22020115120002
Karina Setiawan                      22020115120041
Nisriina Luthfiah                     22020115140061
Noviana Rohmah                    22020115120026
Sulistiani                                 22020115120051


DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2017
Penyakit Paru Obstruktif Kronis
A.   Definisi
Dalam Jurnal yang ditulis Masna dan Fachri (2014) menyebutkan The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) mendefinisikan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) sebagai penyakit yang dapat dicegah dan diobati, disertai manifestasi ekstrapulmoner yang mempengaruhi tingkat keparahan penyakit, ditandai dengan keterbatasan aliran udara paru yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan merupakan respons infl amasi abnormal akibat partikel toksik dan gas beracun.
Menurut Perhimpuhan Dokter Paru Indonesia (2003) PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,disertai kerusakan dinding alveoli.Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema,termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuhmemenuhi kriteria PPOK.

B.     Etiologi
Mengutip dari jurnal berjudul Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik pada tahun 2013, terdapat beberapa faktor resiko yang dapat merangsang timbulnya PPOK. Faktor resiko tersebut yaitu:



1.      Pajanan dari partikel lain:
a.       Rokok
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Dilaporkan ada hubung-an antara penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dengan jumlah, jenis dan lamanya merokok. Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Merokok pada saat hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan mempengaruhi pertumbuhan paru-paru-nya.
b.      Polusi indoor
Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%. Polutan indoor yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap dari cat, karpet, dan mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan peliharaan serta perokok pasif.
c.       Polusi outdoor
Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan asap pem-bakaran/pabrik/tambang.
2.      Genetik (defisiensi enzim alfa-1-antitripsin)
Faktor risiko dari genetic memberikan kontribusi 1 – 3% pada pasien PPOK.
3.      Riwayat infeksi saluran napas berulang
Infeksi saliran napas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi saluran napas akut adalah suatu penyakit terbanyak diderita anak-anak. Penyakit saluran pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacat-an sampai pada masa dewasa, dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.
4.      Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik
Studi pada orang dewasa di Cina14 didapatkan risiko relative pria terhadap wanita adalah 2,80 (95% C I ; 2,64-2,98). Usia tua RR 2,71 (95% CI 2,53-2,89). Konsumsi alkohol RR 1,77 (95% CI : 1,45 – 2,15), dan kurang aktivitas fisik 2,66 (95% CI ; 2,34 – 3,02).

C.   Patofisiologi
Karakteristik utama PPOK adalah keterbatasan aliran udara sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk pengosongan paru. Peningkatan tahanan jalan napas pada saluran napas kecil dan peningkatan compliance paru akibat kerusakan emfisematus menyebabkan perpanjangan waktu pengosongan paru. Hal tersebut dapat dinilai dai pengukuran Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1) dan rasio VEP1 dengan Kapasitas Vital Paksa (VEP1/VEP) (Masna dan Fachri , 2014).
Lesi patologi PPOK merupakan respon imun innate dan adaptif dari inflamasi kronik akibat pajanan gas dan partikel toksik yang dihirup. Walaupun sering digunakan  istilah bronkitis kronik, namun sesungguhnya lokasi obstruksi jalan napas terletak di saluran napas kecil (diameter kurang dari 2 mm). Proses obstruksi yang terjadi meliputi kerusakan barier epitela, gangguan bersihan mukosilier yang menyebabkan penumpukan mukus eksudatif di saluran napas kecil, infiltrasi dinding saluran napas oleh sel-sel inflamai, serta deposisi jaringan ikat pada dinding saluran napas. Mekanisme remodeling dan perbaikan tersebut menyebabkan penambahan tebal dinding saluran napas, mengurangi kaliber lumen, serta membatasi peningkatan kaliber normal oleh inflamasi paru (Masna dan Fachri , 2014).
Kerusakan paru emfisematus dikaitkan dengan inflamasi sel yang sama dengan yang ditemukan di saluran napas besar. Pola emfisema sentrilobular dikaitkan terutama dengan kebiasan merokok sedangkan pola emfisema panasinar/panlobular yang melibatkan kerusakan asinus secara lebih merata dikaitkan terutama dengan defisiensi enzim alfa-1-antitripsin (Masna dan Fachri, 2014).
Untitled.png

D.   Gejala
Gejala yang paling sering pada pasien PPOK adalah sesak napas. Sesak napas biasanya menjadi keluhan utama pada pasien PPOK karena terganggunya aktivitas fisik akibat gejala ini. Sesak napas biasanya menjadi komplain ketikaa FEV1 < 60% prediksi. Pasien biasanya mendefinisikan sesak napas sebagai peningkatan usaha untuk bernapas, rasa  berat saat bernapas, gasping, dan air hinger(Soeroto dan Suryadinata, 2014). Menurut Putra & Artika (2013), orang dengan PPOK biasanya pertama sadar mengalami dyspnea pada saat melakukan olahraga berat ketika tuntutan pada paru-paru yang terbesar. Selama bertahun-tahun, dyspnea cenderung untuk bertambah parah secara bertahap sehingga dapat terjadi pada aktivitas yang lebih ringan, aktivitas sehari-hari seperti pekerjaan rumah tangga. Pada tahap lanjutan dari PPOK, dyspnea dapat menjadi begitu buruk yang terjadi selama istirahat dan selalu muncul.
Batuk bisa muncul secara hilang timbul, tapi biasanya batuk kronis adalah gejala awal perkembangan PPOK. Gejala ini juga biasanya merupakan gejala klinis yang pertama kali disadari oleh pasien. Batuk kronis pada PPOK bisa juga muncul tanpa dahak (Soeroto dan Suryadinata, 2014).

E.   Klasifikasi
Menurut GOLD, 2013 berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan klasifikasi (derajat) PPOK, sebagai berikut:
Derajat Penyakit
Gejala Klinis
Spirometri
Derajat I
PPOK
Ringan
a.    Dengan atau tanpa batuk
b.    Dengan atau tanpa produksi sputum
c.    Sesak napas derajat sesak 1 sampai derajat sesak 2
a.       VEP1 ≥ 80% prediksi (nilai normal spirometri)
b.      VEP1/KVP < 70%
Derajat II
PPOK
Sedang
a.    Dengan atau tanpa batuk
b.    Dengan atau tanpa produksi sputum
c.    Sesak napas derajat 3
a.       VEP1/KVP < 70%
b.      50% ≤ VEP1 < 80% prediksi
Derajat III
PPOK Berat
a.    Sesak napas derajat sesak 4 dan 5
b.    Eksaserbasi lebih sering terjadi
a.       VEP1/KVP < 70%
b.      30% ≤ VEP1 < 50% prediksi
Derajat IV
PPOK
Sangat Berat
a.       Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 dengan gagal napas kronik
b.      Eksaserbasi lebih sering terjadi
c.       Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan
a.       VEP1/KVP <70
b.      VEP1 < 30% prediksi,
atau
c.       VEP1 < 50% dengan gagal napas kronik


F.    Penatalaksanaan
1.      Terapi Farmakologi
a.       Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan yang berguna untuk meningkatkan FEV1 (Volume udara dalam 1 detik pertama ekspirasi) yang akanmempengaruhi tonus ototpolospadajalannapas. (Soeroto dan Suryadinata, 2014)
1)      β2 Agonis (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis yaitu menyebabkan relaksasi otot polos pada jalan napas dengan cara menstimulasi reseptor β2 adrenergik pada otot polos dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronko kontriksi. Efek β2 agonist pada otot polos jalan nafas biasanya dalam waktu 4-6 jam setelah pemberian. Contoh obat dari golongan antikolinergik yaitu tiotropium, ipratropium, glycopyrronium, dan aclidinium (Soeroto dan Suryadinata, 2014).
Efek samping dari obat ini adalah menimbulkan sinus takikardia saat kondisi istirahat dan memiliki potensi timbulnya aritmia. Pada pasien PPOK lansia akan menyebabkan Tremor somatic.
2)      Antikolinergik
Prinsip kerja dari Antikolinergik adalah memblok efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Efek samping yang bisa timbul akibat penggunaan antikolinergik adalah mulut kering (Soeroto dan Suryadinata, 2014).



Obat yang termasuk dalam golongan ini yaitu:
a)      Ipratropium
b)      Oxitropium
c)      Tiopropium bromide
b.      Methylxanthine
Obat ini akan mempengaruhi perubahan otot-otot inspirasi. Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia (Soeroto dan Suryadinata, 2014).
c.       Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat memperbaiki gejala PPOK, fungsi paru, dan mengurangi frekuensi eksaserbasi (kekambuhan) pada pasien (Soeroto dan Suryadinata, 2014).
d.      Phosphodiesterase-4 inhibitor
Prinsip kerja obat ini yaitu mengurangi inflamasi dengan cara menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Penggunaan obat ini memiliki efek samping seperti mual, menurunnya nafsu makan, sakit perut, diare, gangguan tidur dan sakit kepala (Soeroto dan Suryadinata, 2014).
e.       Vaksin Pneumococcus
Vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pasien PPOK usia> 65 tahun (Soeroto dan Suryadinata, 2014).
f.       Antibiotik
Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang akan menimbulkan eksaserbasi (kekambuhan). Hanya diberikan bila terdapat infeksi (PDPI,2003).
2.      Terapi Non Farmakologis
a.       MemperbaikiNutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada penderita PPOK, karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulusrespirasi meningkat yang akan menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Cara mengatasi malnutrisi adalah pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings). Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak dan rendah karbohidrat (PDPI,2003).
b.      Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktivitas dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK (PDPI,2003).
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1)      Pengetahuan dasar tentang PPOK
2)      Informasi tentang obat - obatan, manfaat dan efeksampingnya
3)      Cara pencegahan perburukan penyakit
4)      Menghindari pemicu terjadinya kekambuhan (misalnya: berhenti merokok)
5)      Penyesuaian aktivitas
c.       Terapi Oksigen
Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya. Pada PPOK derajat sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan aktivitas. Pada PPOK derajat berat terapi oksigen dilakukan di rumah pada waktu aktivitas atau terus menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter (PDPI,2003).
3.      Pemantauan dan Follow Up
Follow up rutin penting pada penatalaksanaan semua pasien termasuk PPOK. Fungsi paru bisa diperkirakan memburuk, bahkan dengan pengobatan terbaik. Gejala dan pengukuran objektif dari keterbatasan aliran udara harus dimonitor untuk menentukan kapan dilakukan modifikasi terapi dan untuk identifikasi beberapa komplikasi yang bisa timbul (Soeroto dan Suryadinata, 2014).
4.      Pemantauan Progresifitas Penyakit dan Komplikasi
a.       Spirometri
Penurunan fungsi paru terbaik diukur dengan spirometri, dilakukan sekurang-kurangnya setiap 1 tahun sekali. Kuesioner seperti CAT bisa dilakukan setiap 2 atau 3 bulan.
b.      Gejala
Pada setiap kunjungan, tanyakan perubahan gejala dari saat kunjungan terakhir termasuk batuk dan dahak, sesak napas, fatique, keterbatasan aktivitas dan gangguan tidur.
c.       Merokok
Pada setiap kunjungan, tanyakan status merokok terbaru dan paparan terhadap rokok. Pemantauan farmakoterapi dan terapi medis lain agar penyesuaian terapi sesuai sejalan dengan berjalannya penyakit, setiap follow up harus termasuk diskusi mengenai regimen terapi terbaru. Dosis setiap obat, kepatuhan terhadap regimen, teknik penggunaan terapi inhalasi, efektivitas regimen terbaru dalam mengontrol gejala dan efek samping terapi harus selalu dalam pengawasan. Modifikasi terapi harus dianjurkan untuk menghindari polifarmasi yang tidak diperlukan (Soeroto dan Suryadinata, 2014).

5.        Pemantauan Riwayat Eksaserbasi
Evaluasi frekuensi, beratnya dan penyebab terjadinya eksaserbasi. Peningkatan jumlah sputum, perburukan akut sesak napas dan adanya sputum purulen harus dicatat. Penyelidikan spesifik terhadap kunjungan yang tidak terjadwal, panggilan telepon terhadap petugas kesehatan dan penggunaan fasilitas emergensi adalah penting. Tingkat beratnya eksaserbasi bisa diperkirakan dari peningkatan penggunaan obat bronkhodilator atau kortikosteroid dan kebutuhan terhadap terapi antibiotik. Perawatan di rumah sakit harus terdokumentasi, termasuk fasilitas, lamanya perawatan, dan penggunaan ventilasi mekanik (Soeroto dan Suryadinata, 2014).

G.  Asuhan Keperawatan
1.      Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kesehatan pasien, melakukan pengkajian fisik, meliputi:
a.       Inspeksi
Pada saat inspeksi, terlihat pasien mempunyai bentuk dada barrel chest akibat udara yang terperangkap, penipisan massa otot, bernafas dengan bibir yang dirapatkan, dan pernapasan abnormal yang tidak efektif. Fokus inspeksi pada setiap bagian tubuh meliputi : ukuran tubuh, warna, bentuk, posisi, kesimetrisan, lesi, dan penonjolan/pembengkakan. Setelah inspeksi, perlu dibandingkan hasil normal dan abnormal bagian tubuh satu dengan bagian tubuh lainnya. Contoh : mata kuning (ikterus), terdapat struma di leher, kulit kebiruan (sianosis).
b.       Palpasi
Pada palpasi, dapat diketahui ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.
c.       Perkusi
Adapun suara-suara yang dijumpai saat perkusi adalah:
1)        Sonor          : suara perkusi jaringan yang normal.
2)        Redup         : suara perkusi jaringan yang lebih padat, misalnya di daerah paru-paru pada pneumonia.
3)        Pekak          : suara perkusi jaringan yang padat seperti pada perkusi daerah jantung, perkusi daerah hepar.
4)        Hipersonor/timpani : suara perkusi pada daerah yang lebih berongga kosong, misalnya daerah caverna paru, pada pasien asthma kronik.
Pada perkusi, didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma mendatar atau menurun.
d.      Auskultasi
Suara tidak normal yang dapat diauskultasi pada nafas adalah:
1)   Rales                       : suara yang dihasilkan dari eksudat lengket saat saluran-saluran halus pernafasan mengembang pada inspirasi (rales halus, sedang, kasar). Misalnya pada pasien pneumonia, TBC.
2)   Ronchi                    : nada rendah dan sangat kasar terdengar baik saat inspirasi maupun saat ekspirasi. Ciri khas ronchi adalah akan hilang bila pasien batuk. Misalnya pada edema paru.
3)   Wheezing                : bunyi yang terdengar “ngiii….k”. bisa dijumpai pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Misalnya pada bronchitis akut, asma.
4)   Pleura Friction Rub : bunyi yang terdengar “kering” seperti suara gosokan amplas pada kayu. Misalnya pada pasien dengan peradangan pleura. Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan obstruktif pada bronkhiolus.
e.       Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin
1)      Faal paru
a)      Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Spirometri merupakan suatu pemeriksaan yang menilai fungsi dari paru, dinding dada, dan otot-otot pernafasan dengan mengukur jumlah volume udara yang dihembuskan dari kapasitas paru total ke volume residu.
Spirometer merupakan alat untuk mengukur aliran udara yang masuk dan keluar paru-paru dan dicatat dalam grafik volume per menit.
Cara pemakaian spirometer:
1.      Hidupkan spirometer, biarkan selama 10 menit.
2.      Tekan tombol ID.
3.      Masukan data pasien: ID, umur, tinggi badan, berat badan, jenis kelamin.
4.      Pasien dianjurkan untuk memakai penjepit hidung.
5.      Pasang mouthpiece ke mulut pasien, dengan posisi bibir rapat pada mouthpiece.
6.      Anjurkan pasien untuk melakukan pernaasan biasa melalui mulut.
7.      Tekan tombol FVC, tekan start.
8.      Setelah 3-4 detikakan terdengar bunyi TIT, kemudian pasien dianjurkan untuk menarik nafas dalam dan menghembuskan nafas secara cepat. Kemudian bernafas biasa kembali.
9.      Tekan tombol stop untuk mengakhiri pemeriksaan. Lakukan pemeriksaan sampai 3 kali.
10.  Tekan tombol display untuk melihat hasil pemeriksaan.

·         Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan/atau VEP1/KVP ( % ). Obstruksi: % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
·         VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
·         Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
b)      Uji bronkodilator
·         Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
·         Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
·         Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2)       Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3)      Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
a.      Paru-Paru Normal                    b.Paru-Paru yang mengalami PPOK
Foto b menujukan Foto Thorax dengan pasien COPD atau PPOK. Kedua lapangan paru terlihat lebih hitam dan lebih besar secara volume dibandingkan dengan gambaran normal. Hemidiafragma terlihat rata dan pada bagian tengah dan terdapat bullae di bagian tengah paru. Lebih sedikit pembuluh darah yang terlihat secara peripheral terutama di bagian atas dan tengah, tetapi arteri pulmonari terlihat besar di pertengahan, menandakan adanya perkembangan hipertensi arterial pulmonari lanjutan.
Jika kita mau menentukan penyebab adanya bayangan hitam pada kedua lapangan paru, maka yang perlu kita perhatikan adalah :
Perhatikan masalah daya tembus. Lihat pada corpus vertebrae yang berada di belakang jantung. Ingat bahwa sinar-x yang daya tembusnya besar akan memberikan gambaran corpus vertebrae lebih keras di belakang bayangan jantung. Jika corpus vertebrae tersebut terlihat sangat jelas, maka ini berarti daya tembus sinar-x terlalu tinggi. Hal ini akan menyebabkan gambaran paru terlihat hitam. Jika ini terjadi maka COPD tidak bisa dinilai karena penyebab gambaran paru terlihat hitam bukan karena penyakit tetapi karena over expose.
Namun jika kita merasa bahwa faktor eksposi yang kita gunakan sudah tepat, maka penyebab gambaran hitam pada kedua lapangan paru kebanyakan adalah karena COPD. COPD ditandai dengan pembesaran paru-paru yang disebabkan karena adanya udara yang terjebak dan berkembangnya bullae (bullae adalah istilah medis untuk gelembung yang dilapisi oleh kulit dan didalamnya terpat udara atau cairan).
Untuk memastikan bahwa ini COPD maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.      Hitung jumlah costae yang telihat secara anterior. Jika paru-paru membesar, maka dapat dengan menghitung costae lebih dari tujuh. Hati-hati dalam perhitungan ini, sebab kadang-kadang pada pasien normal, kita juga dapat menghitung costae lebih dari tujuh.
2.      Lihat bentuk diafragma. Pada kasus COPD diafragma terlihat flat bahkan kadang-kadang membuka ke atas. Hal ini lebih memudahkan dalam penandaan adanya hiper ekspansi daripada menghitung jumlah costae.
3.      Lihat bentuk dari jantung. Thorax yang mengalami pelebaran pada kasus COPD akan membuat sinar-x menjadikan jantung menjadi elongasi dan terlihat mengecil, terangkat dari batas bawahnya.
4.      Lihat Bullae. Terdapat daerah hitam yang jelas pada paru-paru biasanya terlihat melingkar, dikelilingi oleh bayangan garis rambut. Bullae menekan paru-paru normal dan menyimpangkan pembuluh-pembuluh darah yang berada disekeliling paru-paru jadi untuk melihat bullae ini cari daerah yang terdapat penyimpangan pembuluh darah, biasanya di situ terdapat bullae.
5.      Lihat tanda-tanda paru. Paru-paru yang hitam karena COPD biasanya diiringi oleh menurunnya tanda-tanda paru. Penurunan tanda-tanda paru ini terjadi pada kedua lapangan paru (bilateral) dan menyebar secara lurus mulai dari hilum yang menjadi pendek dan tebal hingga ke peripheral.
Pada emfisema terlihat gambaran :
·         Hiperinflasi
·         Hiperlusen
·         Ruang retrosternal melebar
·         Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
·         Normal
·         Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1)       Faal paru
a)    Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
b)   DLCO menurun pada emfisema
c)    Raw meningkat pada bronkitis kronik
d)   Sgaw meningkat
e)    Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2)      Uji latih kardiopulmoner
a)    Sepeda statis (ergocycle)
b)   Jentera (treadmill)
c)    Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3)      Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan.
4)      Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
5)      Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
·      Gagal napas kronik stabil
·      Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6)      Radiologi
a)      CT-Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos.
b)      Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru.
7)      Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
8)      Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan.
9)      Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10)   Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
2.      Diagnosa dan Rencana Keperawatan
a.      Domain 3 Class 4
Gangguan Pertukaran Gas: pertukaran gas terganggu
(00030)
Tujuan: Setelah diberikan tindakan 1x24 jam diharapkan klien dapat melakukan perukaran gas dengan normal dengan kriteria hasil:
1)      Respiratory Status: Gas exchange
a)      ( II E 040208 ) Tekanan parsial oksigen dalam darah arteri normal
b)      ( II E 040209 ) Tekanan parsial karbondioksida dalam darah arteri normal
c)      ( II E 040211 ) Saturasi oksigen normal
d)     ( II E 040214 ) Ventilasi perfusi seimbang
e)      ( II E 040203 ) Tidak terjadi dyspnea
Tindakan:
1)      Manajemen jalan napas
a)      (2K-3140.02) Posisikan pasien pada posisi yang dapat memaksimalkan potensi ventilasi
b)      (2K-3140.06) Keluarkan sekresi dengan membantu membatuk
c)      (2K-3140.09) Instruksikan cara batuk efektif
d)     (2K-3140.21) Monitor respirasi dan status oksigenasi
2)      Cough enhancement
a)      (2K-3250.01) Monitor hasil tes yang berhubungan dengan fungsi respirasi
b)      (2K-3250.04) Dukung pasien untuk dapat melakukan napas dalam, tahan selama dua detik, dan membatuk dua sampai tiga kali beriringan
3)      Smoking cessation assistance
a)      (3O-4490.01) Catat status merokok sekarang dan di masa lalu
b)      (3O-4490.02) Tentukan kesiapan pasien untuk belajar tentang penghentian merokok
c)      (3O-4490.03) Monitor kesiapan pasien untuk mencoba berhenti merokok
d)     (3O-4490.14) Motivasi pasien untuk menentukan waktu mulai berhenti merokok
b.      Domain 4 Class 1
Insomnia: pola tidur terganggu (00095)
Tujuan: Setelah diberikan tindakan 1x24 jam diharapkan klien pola tidurnya tidak terganggu dengan kriteria hasil:
1)      Sleep
a)    ( I A 000404 ) Kualitas tidur baik
b)   ( I A 000407 ) Rutin tidur
c)    ( I A 000418 ) Tidur sepanjang malam konsisten
d)   ( I A 000401 ) Jam tidur normal
2)      Personal Health Status
a)      ( V U 200603 ) Tingkat energi baik
b)      ( V U 200602 ) Tingkat mobilitas baik
c)      ( V U 200601 ) Kesehatan fisik membaik
3)      Fatigue Level
a)      ( I A 000728 ) Metabolisme baik
b)      ( I A 000726 ) Fungsi imun membaik
c)      ( I A 000701 ) Kelelahan berkurang
Tindakan:
1)      Manajemen nyeri
a)      (1E-1400.01) Lakukan penilaian mengenai nyeri termasuk lokasi, karakteristik, onset, frekuensi, kualitas, intensitas, dan faktor presipitasi.
b)      (1E-1400.02) Amati tanda nonverbal mengenai ketidaknyamanan, terutama pada ketidakmampuan berkomunikasi secara efektif
c)      (1E-1400.19) Ajarkan prinsip-prinsip dari manajemen nyeri
2)      Manajemen medikasi
a)      (2H-2380.01) Tentukan obat apa yang dibutuhkan dan aturan yang berhubungan dengan petunjuk ahli dan/atau protocol
b)      (2H-2380.01) Tentukan kemampuan pasien untuk pengobatan diri, secara tepat
c)      (2H-2380.01) Monitor tanda dan gejala dari efek toksik obat
c.       Domain 4 Class 4
Ketidakefektifan pola napas (00032)
Tujuan: Setelah diberikan tindakan 1x24 jam diharapkan klien pola napasnya efektif dengan kriteria hasil :
1)      Respiratory status: airway patency
a)      ( II E 041004 ) RR normal
b)      ( II E 041005 ) Ritme pernafasan baik
c)      ( II E 041012 ) Mampu membersihkan sekresi
d)     ( II E 041002 ) Tingkat kecemasan berkurang
e)      ( II E 041007 ) Suara napas terdengar normal
f)       ( II E 041020 ) Tidak adanya sputum
Tindakan:
1)      Manajemen jalan napas
a)      (2K-3140.02) Posisikan pasien pada posisi yang dapat memaksimalkan potensi ventilasi
b)      (2K-3140.06) Keluarkan sekresi dengan membantu membatuk
c)      (2K-3140.09) Instruksikan cara batuk efektif
d)     (2K-3140.21) Monitor respirasi dan status oksigenasi
2)      Cough enhancement
a)      (2K-3250.01) Monitor hasil tes yang berhubungan dengan fungsi respirasi
b)      (2K-3250.04) Dukung pasien untuk dapat melakukan napas dalam, tahan selama dua detik, dan membatuk dua sampai tiga kali beriringan
3)      Manajemen nyeri
a)      (1E-1400.01) Lakukan penilaian mengenai nyeri termasuk lokasi, karakteristik, onset, frekuensi, kualitas, intensitas, dan faktor presipitasi.
b)      (1E-1400.02) Amati tanda nonverbal mengenai ketidaknyamanan, terutama pada ketidakmampuan berkomunikasi secara efektif
c)      (1E-1400.19) Ajarkan prinsip-prinsip dari manajemen nyeri
d.      Domain 4 Class 5
Komunikasi verbal lemah (00051)
Tujuan: Setelah diberikan tindakan 2x24 jam diharapkan klien dapat melakukan komunikasi dengan baik dengan kriteria hasil :
1)      Communication
a)      ( II J 090202 ) Menggunakan bahasa lisan dengan baik
b)      ( II J 090208 ) Bertukar pesan secara akurat dengan orang lain
c)      ( II J 090206 ) Mengakui ada pesan yang diterima
2)      Cognitive Orientation
a)      ( II J 090101 ) Mengidentifikasi diri dengan baik
b)      ( II J 090101 ) Mengidentifikasi peristiwa dengan signifikan
c)      ( II J 090109 ) Mengidentifikasi tempat dengan baik
Tindakan:
1)      Reduksi kecemasan
a)      (3T-5820.01) Bersikap tenang, menggunakan pendekatan yang menentramkan hati
b)      (3T-5820.04) Lihat untuk memahami perspektif pasien pada situasi yang menegangkan (stressful)
c)      (3T-5820.06) Tetap bersama pasien untuk meningkatkan keamanan dan mengurangi ketakutan
d)     (3T-5820.09) Atur usapan punggung atau leher secara tepat
e)      (3T-5820.18) Bantu pasien mengidentifikasi situasi yang menyebabkan kecemasan
2)      Mendengarkan aktif
a)      (3Q-4920.02) Tunjukkan ketertarikan kepada pasien saat berinteraksi
b)      (3Q-4920.03) Gunakan pertanyaan atau pernyataan untuk mendukung pasien berekspresi
c)      (3Q-4920.07) Dengarkan pesan tidak langsung dan perasaan saat berkomunikasi
e.       Domain 6 Class 1
Resiko terganggunya identitas personal (00121)
Tujuan: Setelah diberikan tindakan 2x24 jam diharapkan klien tidak mengalami gangguan identitas dengan kriteria hasil :
1)      Self awareness
a)      ( III M 121501 ) Dapat membedakan diri dari lingkungan
b)      ( III M 121502 ) Dapat membedakan diri dari orang lain
c)      ( III M 121505 ) Menyadari emosional pribadi
d)     ( III M 121513 ) Mempertahankan kesadaran diri dalam situasi apapun
e)      ( III M 121516 ) Mempertahankan kesadaran diri dari perasaan yang dirasakan
f)       ( III M 121527 ) Membayangkan masa depan
2)      Identity
a)      ( III M 120201 ) Mengungkapakan penegasan tentang identitas diri
b)      ( III M 120210 ) Mengubah citra negatif diri
c)      ( III M 120209 ) Mengubah keyakinan yang jelek tentang diri
d)     ( III M 120213 ) Mengungkapkan kepercayaan terhadap diri
Tindakan:
1)      Konseling
a)      (3R-5240.01) Tetapkan hubungan terapeutik didasarkan atas saling percaya dan menghargai
b)      (3R-5240.08) Bantu pasien untuk mengidentifikasi masalah atau situasi yang menyebabkan tekanan (distress)
c)      (3R-5240.09) Gunakan teknik refleksi dan klarifikasi untuk memfasilitasi ekspresi yang mengkhawatirkan
d)     (3R-5240.17) Bantu pasien mengidentifikasi kekuatan
e)      (3R-5240.18) Dukung pengembangan skill baru
2)      Peningkatan kesadaran diri
a)      (3R-5390.02) Bantu pasien menyadari bahwa setiap orang merupakan pribadi yang unik
b)      (3R-5390.003) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dampak dari sakit pada konsep diri
3)      Peningkatan peran
a)      (3R-5370.02) Bantu pasien mengidentifikasi peran dalam keluarga
b)      (3R-5370.08) Dukung pasien untuk mengidentifikasi deskripsi realistic dari perubahan peran
c)      (3R-5370.16) Ajarkan sifat baru yang dibutuhkan pasien untuk memenuhi peran.
f.        Domain 6 Class 3
Terganggunya citra tubuh (00118)
Tujuan: Setelah diberikan tindakan 2x24 jam diharapkan klien tidak mengalami gangguan citra tubuh dengan kriteria hasil :
1)      Body image
a)      ( III M 120003 ) Mendiskripsikan bagian tubuh yang sakit
b)      ( III M 120005 ) Kepuasan dengan penampilan tubuh
c)      ( III M 120006 ) Kepuasan dengan fungsi tubuh
d)     ( III M 120009 ) Mengatur perubahan status kesehatan
Tindakan:
1)      Reduksi kecemasan
a)      (3T-5820.01) Bersikap tenang, menggunakan pendekatan yang menentramkan hati
b)      (3T-5820.04) Lihat untuk memahami perspektif pasien pada situasi yang menegangkan (stressful)
c)      (3T-5820.06) Tetap bersama pasien untuk meningkatkan keamanan dan mengurangi ketakutan
d)     (3T-5820.09) Atur usapan punggung atau leher secara tepat
e)      (3T-5820.18) Bantu pasien mengidentifikasi situasi yang menyebabkan kecemasan
2)      Mendengarkan aktif
a)      (3Q-4920.02) Tunjukkan ketertarikan kepada pasien saat berinteraksi
b)      (3Q-4920.03) Gunakan pertanyaan atau pernyataan untuk mendukung pasien berekspresi
c)      (3Q-4920.07) Dengarkan pesan tidak langsung dan perasaan saat berkomunikasi
3)      Konseling
a)      (3R-5240.01) Tetapkan hubungan terapeutik didasarkan atas saling percaya dan menghargai
b)      (3R-5240.08) Bantu pasien untuk mengidentifikasi masalah atau situasi yang menyebabkan tekanan (distress)
c)      (3R-5240.09) Gunakan teknik refleksi dan klarifikasi untuk memfasilitasi ekspresi yang mengkhawatirkan
d)     (3R-5240.17) Bantu pasien mengidentifikasi kekuatan
e)      (3R-5240.18) Dukung pengembangan skill baru
g.      Domain 9 Class 2
Kecemasan akan kematian (00147)
Tujuan: Setelah diberikan tindakan 2x24 jam diharapkan klien dapat mengatsi kecemasannya dengan kriteria hasil :
1)      Anxiety level
a)      ( III M 121101 ) Kegelisahan berkurang
b)      ( III M 121107 ) Ketegangan muka berkurang
c)      ( III M 121104 ) Distress berkurang
Tindakan:
1)      Mendengarkan aktif
a)      (3Q-4920.02) Tunjukkan ketertarikan kepada pasien saat berinteraksi
b)      (3Q-4920.03) Gunakan pertanyaan atau pernyataan untuk mendukung pasien berekspresi
c)      (3Q-4920.07) Dengarkan pesan tidak langsung dan perasaan saat berkomunikasi
2)      Support keluarga
a)      (5X-7140.06) Fasilitasi komunikasi antara pasien dengan keluarga atau antar anggota keluarga
b)      (5X-7140.19) Berikan sumber spiritual untuk keluarga secara tepat
c)      (5X-7140.21) Ajarkan rencana medis dan keperawatan pada keluarga
h.      Domain 12 Class 1
Ketidaknyamanan (00214)
Tujuan: Setelah diberikan tindakan 2x24 jam diharapkan klien merasa nyaman dengan kriteria hasil :
1)      Comfort status
a)      ( V U 200801 ) Kesejahteraan fisik membaik
b)      ( V U 200803 ) Kesejahteraan psikologis membaik
Tindakan:
1)      Manajemen medikasi
a)      (2H-2380.01) Tentukan obat apa yang dibutuhkan dan aturan yang berhubungan dengan petunjuk ahli dan/atau protocol
b)      (2H-2380.01) Tentukan kemampuan pasien untuk pengobatan diri, secara tepat
c)      (2H-2380.01) Monitor tanda dan gejala dari efek toksik obat
2)      Manajemen nyeri
a)      (1E-1400.01) Lakukan penilaian mengenai nyeri termasuk lokasi, karakteristik, onset, frekuensi, kualitas, intensitas, dan faktor presipitasi.
b)      (1E-1400.02) Amati tanda nonverbal mengenai ketidaknyamanan, terutama pada ketidakmampuan berkomunikasi secara efektif
c)      (1E-1400.19) Ajarkan prinsip-prinsip dari manajemen nyeri
i.        Domain 10 Class 3
Distress spiritual (00066)
Tujuan: Setelah diberikan tindakan 2x24 jam diharapkan klien dapat memenuhi spiritualnya dengan kriteria hasil :
1)      Spiritual health
a)      ( V U 200101 ) Kualitas iman membaik
b)      ( V U 200103 ) Mengerti makna dan tujuan hidup
c)      ( V U 200105 ) Perasaan kedamaian
d)     ( V U 200113 ) Partisipasi dalam ibadah
e)      ( V U 200108 ) Pengalaman spiritual yang baik
f)       ( V U 200121 ) Interaksi dengan orang lain untuk berbagi pikiran, perasaan, dan keyakinan
Tindakan:
1)      Kehadiran
a)      (3R-5340.01) Demonstrasikan sikap penerimaan
b)      (3R-5340.02) Secara verbal mengkomunikasikan empati atau pemahaman terhadap yang dialami pasien
c)      (3R-5340.08) Menjadi ada secara fisik sebagai penolong
2)      Support spiritual
a)      (3R-5420.03) Dukung individu untuk mengingat masa lalu dan fokus pada kegiatan dan hubungan yang memberikan kekuatan dan support spiritual
b)      (3R-5420.15) Berdoa dengan individu
c)      (3R-5420.26) Dengarkan secara seksama saat komunikasi individu, dan kembangkan sensasi terhadap waktu beribadah dan berdoa
d)     (3R-5420.28) Jadilah terbuka pada perasaan individu tentang penyalit dan kematian





DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria. M, et al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) sixth edition. United States of America: Elsevier.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Pedoman pengendalian penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Jakarta: Departemen Kesehatan.
GOLD. 2013. Global strategy for the diagnosis, management and preventive of COPD. United states of America.Updated 2013.
International, NANDA. 2015. Nanda International Inc. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017/editor, T. Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru; alih bahasa, Budi Anna Keliat [ et al. ]. ; editor penyelaras, Monica Ester. ­– Ed. 10 – Jakarta: EGC.
Masna dan Fachri. (2014). Manajemen perioperatif penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). CDK, 41 (8), 595-560.
Moorhead, Sue., Johnson Marion., et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) fifth edition. United States of America: Elsevier.
Oemiati, Ratih. (2013). Kajian epidemiologis penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Media Litbangkes, 23 (2), 82-88.
PDPI. (2003). PPOK, pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Putra, IGN Wijaya & Artika, IDM. (2013). Diagnosis dan tata laksana penyakit paru obstruktif kronik. Denpasar : Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Putri, F. (2009). Analisis biaya penyakit paru obstruktif kronik rawat inap RSUD
Dr. Moewardi Surakarta. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Soeroto, A,.Y., &Suryadinata, H. (2014). Penyakit paru obstruktif kronik. Ina J Chest Crit and Emerg Med, 1(2).
Uyainah, A., Zulkifli, A., & Feisal T. (2014). Spirometri. Ina J Chest Crit and Emerg Med, 1(1).
Wulang, ARA. 2014. Gambaran Peran Perawat sebagai Care Giver dalam Perawatan Pasien PPOK. Diakses pada tanggal 23 Februari 2017, dari: repository.uksw.edu


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ROLEPLAY KEPERAWATAN JIWA SP 1 HALUSINASI

ROLEPLAY KEPERAWATAN JIWA SP 4 HALUSINASI

ROLEPLAY KEPERAWATAN JIWA SP 2 HALUSINASI